Kopitalisme
|
||||
Ekonomi Tanpa Grand
Strategy
|
||||
Ekonomi Tanpa "Grand strategy"
|
DIDIK J RACHBINI
Ekonomi Indonesia pada tahun lalu tahun pertama Kabinet
Indonesia Bersatu tidak berhasil didorong ke dalam pertumbuhan tinggi.
Bahkan, sasaran pertumbuhan yang telah ditetapkan secara politik dan
kebijakan tidak berhasil dicapai.
Fakta ini merupakan kegagalan pertama Tim Ekonomi yang sudah
di-reshuffle amat terbatas. Namun, tim utama tetap tidak berubah sehingga
kemungkinan perubahan dalam kerja tim, kepemimpinan ekonomi, dan budaya
pencapaian kerja tidak akan terjadi.
Namun, pemerintah berkilah, pertumbuhan ekspor mencapai rekor
cukup tinggi, hampir 19 persen. Investasi juga dinilai bergairah karena
banyak persetujuan investasi yang dilakukan pemerintah. Aneh, dua faktor
penting dalam pertumbuhan ini tergambar cukup baik, tetapi pertumbuhan
ekonomi sendiri menunjukkan keadaan sebaliknya, di mana secara keseluruhan
belum menggembirakan.
Besar kemungkinan data resmi itu mengalami distorsi akut karena
data ekspor tersangkut kasus ekspor fiktif, yang telah berjalan puluhan
tahun. Akumulasi distorsi itu meluas karena restitusi resmi yang dicatat
Departemen Keuangan mencapai sekitar Rp 19 triliun. Dengan demikian, angka
kinerja ekspor bersifat overestimate, termasuk pertumbuhan ekonomi karena
faktanya banyak PHK, pengangguran meluas kasatmata, dan kemiskinan setahun
terakhir bertambah banyak.
Kepemimpinan ekonomi
Distorsi dinamika investasi dan ekspor yang digambarkan
pemerintah ternyata tidak sinkron dengan kenyataan besarnya pengangguran
terbuka yang berkembang dari 10 juta menjadi 11,5 juta orang. Ini merupakan
hasil kerja Tim Ekonomi. Dalam ukuran keilmuan, keadaan pengangguran terbuka
ini tergolong akut dan kronis karena persentasenya hampir tiga kali lipat
dari keadaan normal. Bukti kasatmata dari pengangguran yang meluas adalah
jumlah pelamar masuk pegawai negeri mencapai ratusan ribu orang dengan
persentase amat kecil yang akan diambil.
Pada saat yang sama terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin
dari 36 juta menjadi 40 juta. Penderitaan golongan bawah kian sempurna saat
harga-harga naik dan inflasi meningkat juga tiga kali lipat dari normal.
Inflasi tinggi karena pemerintah tidak berhasil mengendalikan barang-barang
kebutuhan publik, yang diatur pemerintah. Sekarang hendak diperberat lagi
dengan usaha PLN dan pemerintah dalam wacana publik dan rencana menaikkan
tarif dasar listrik.
Jadi, tahun pertama yang dilewati Tim Ekonomi merupakan tahun
yang lumayan sia-sia. Padahal, tahun pertama itu adalah kesempatan baik
periode SBY-Kalla karena merupakan periode demokrasi Indonesia yang pertama
kali dengan dukungan sosial politik secara luas.
Tim Ekonomi telah bekerja dengan hasil jauh dari memadai karena
tidak ada kepemimpinan ekonomi dan ide kebijakan ekonomi yang fokus untuk
menyelesaikan masalah jangka pendek pada tahun pertama itu. Bahkan, teamwork
kabinet itu lumayan parah karena sinyal kepada publik dan investor saling
bersilangan dalam pendapat kebijakan sehingga publik menangkapnya sebagai
sinyal buruk dari teamwork yang tidak solid.
Kepemimpinan ekonomi dan teamwork merupakan masalah utama,
mengapa terjadi kebijakan ekonomi yang cukup kacau pada tahun pertama dan
terus berpengaruh hingga kini. Muara dari kevakuman kepemimpinan ekonomi dan
teamwork yang lemah terlihat pada kegagalan mencapai sasaran pertumbuhan
ekonomi lebih tinggi, pengangguran dan kemiskinan kian banyak, inflasi, dan
seterusnya.
Tanpa ”grand strategy”
Yang memprihatinkan lagi adalah kealpaan pemerintah untuk
membangun grand strategy dalam rencana dan kesadaran kolektif pihak-pihak
terkait (stakeholders). Kevakuman kepemimpinan ekonomi terlihat pada
ketiadaan strategi induk seperti ini. Kadin berteriak soal ekonomi tanpa arah
jelas sehingga kebijakan pemerintah dalam ekonomi keluar sebagai sinyal kebingungan,
yang harus dan hanya bisa diinterpretasi sendiri-sendiri.
Kekurangan utama Tim Ekonomi adalah tidak memberi sinyal positif
pada kebijakan dan strategi ekonomi yang jelas karena kekosongan kepemimpinan
ekonomi. Karena itu, sasaran pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya tidak
terlalu tinggi tidak berhasil dicapai. Pengangguran yang diharapkan bisa
diturunkan sesuai janji kampanye SBY-Kalla justru naik. Ini merupakan
kegagalan Tim Ekonomi pemerintah.
Karena itu, mutlak pemerintah perlu menetapkan strategi induk
dalam ekonomi. Setiap negara yang berhasil menetapkan strategi induk dengan
baik, keberhasilan ekonomi akan lebih cepat dicapai. Sebagai contoh, strategi
induk berorientasi ekspor keluar dari China kini berhasil mendorong negara ke
fase pertumbuhan tinggi sampai 9-10 persen, dua kali lebih cepat daripada
Indonesia.
Hal yang sama dilakukan India sehingga pada satu dekade ke depan
India bersama China akan menjadi kutub ekonomi besar dan kuat. Itu terjadi
karena strategi induk pada tingkat nasional amat jelas sehingga pertumbuhan
ekonomi menjadi pesat.
Hal yang sama dilakukan Korea dan Taiwan. Strategi induk dalam
daya saing ke pasar internasional membawa Korea dan Taiwan menjadi negara
industri kaya.
Sayang, Indonesia saat ini tidak memilikinya dalam arti
kebijakan yang sudah menjadi kesadaran kolektif pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Kevakuman dalam membangun strategi induk dan kebijakan turunan
yang mendukung membuat ekonomi Indonesia berjalan tanpa arah. Padahal, sudah
banyak korban PHK, industri tekstil dan sepatu bangkrut, terjadi
deindustrialisasi dan kehilangan daya saing yang kronis.
Grand strategy itu amat diperlukan sebagai pemandu orkestra
kebijakan ekonomi pada sektor masing-masing. Jika tanpa grand strategi, maka
masing-masing sektor akan berjalan sendiri-sendiri sehingga akan bersilang
arah dan tidak tentu target-target kebijakan masing-masing. Jika ada grand
strategy atau strategi induk dan itu dipandu pandangan atau aksi presiden
secara bersama dan menjadi kolektif, maka semua sinergi aneka kebijakan itu
akan menuju satu titik yang ditunjuk.
Didik J Rachbini
Ekonom Universitas Mercu Buana Jakarta; Ketua Komisi VI DPR
Sumber: Kompas
|
Mubyarto
DENGAN
EKONOMI PANCASILA MENYIASATI GLOBALISASI
The
success of Indonesia’s
economic policies confirmed the idea that, as much as possible, economic
policies should be insulated from undue political influence. Moreover,
experience has demonstrated that alternative schools of economic policy making,
including communism, socialism, and even “supply side economics”, in the long
run have all failed. In the meantime the field of neo-classical economics is
progressing steadily. It is here that policy making should seek guidance in
creating economic policies (Radius Prawiro, 1998:335)
In
this precarious state, the government took the bold move of removing all
restrictions on the flow of capital into and out of the country. Indonesia’s
laws governing the flow of capital thus became some of the most liberal in the
world, more so even than those of many of the most developed countries (Radius Prawiro,
1998:290).
Neo-Liberalism,
in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which
there are only two choices, an economy organized by markets or an economy
organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- statist
bureaucracy (Mac
Ewan 1999:11)
Pendahuluan
Globalisasi
mempunyai 2 pengertian pertama, sebagai deskripsi/definisi yaitu proses
menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market),
dan kedua, sebagai “obat kuat” (prescription) menjadikan ekonomi
lebih efisien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua
pengertian ini jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi “tidak ada
pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau
terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat.
Benarkah
pilihannya hanya dua sebagaimana dikemukakan paham Neo-liberalisme? Benarkah
tak ada hak sama sekali bagi setiap negara untuk “berbeda” dengan menerapkan
sistem ekonomi yang sesuai sistem nilai dan budaya negara-negara bersangkutan?
Arthur Mac Ewan membantah keras pandangan “tidak ada pilihan” ini dengan secara
tegas menyatakan:
Contrary to the
claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course,
and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term
consequences
(Mac Ewan 1999:8)
Lebih tegas lagi pernyataan James Petra dan
Henry Veltmeyer dalam Globalization Unmasked bahwa “globalization is
neither inevitable nor necessary” (Petras & Veltmeyer 2001:12)
Hikmah Krisis Moneter
Orang Indonesia selalu berhasil
menyatakan “untung” atas berbagai musibah. Maka, adakah alasan orang menyatakan
“untung ada krismon”? Ternyata dalam segala kesusahan menghadapi globalisasi
dan liberalisasi perdagangan dan investasi, bahkan termasuk meledaknya “bom
Bali”, orang Indonesia masih mampu menyebutkan aspek keuntungannya. Seorang rekan
ekonom dari AS menulis “A less globalized world might be better for Indonesia”!
Jadi tanpa Indonesia susah-susah melawan serangan dahsyat globalisasi, krismon
dan Bom Bali telah membantu Indonesia “mengusir atau mengurangi tekanan
globalisasi” yang memang lebih merugikan ketimbang menguntungkan ekonomi
Indonesia. Terhadap kekuatan-kekuatan “anti globalisasi” ini para pendukung
globalisasi berusaha dan berhasil mengundang IMF untuk memperkuat
barisan. Kini yang terjadi adalah pergulatan (ilmiah dan ideologis) antara dua
kekuatan yaitu mereka yang mendukung dan yang menentang globalisasi.
Kesimpulan
kita di Indonesia tidak bisa lain, “jangan-jangan” krismon dan Bom Bali
merupakan “Petunjuk Tuhan” bahwa globalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas
merugikan sebagian besar rakyat Indonesia kenyataannya memang telah berjalan
terlalu cepat sehingga “atas kehendak Tuhan”, krismon dan bom Bali “diturunkan”
untuk memperingatkannya dan mengeremnya.
The region and
the entire world need to carefully think through whether globalization has
proceeded at too fast a pace for national societies, particularly developing
ones, to make needed adjustments without undue dislocation and economic pain. (Morrison & Hadi
Soesastro. 1998:23)
Liberalisasi Perbankan 1983-88
Jika
kita baca dan renungkan kembali kekagetan Radius Prawiro tentang telah menjadi
terlalu liberalnya peraturan masuk dan keluar modal ke dan dari Indonesia sejak
pertengahan delapan puluhan, ketika yang bersangkutan menjabat Gubernur Bank
Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menko Ekuin, maka jelas telah terjadi
gerakan tak terkendali dari liberalisasi dan globalisasi di negara
kita. Jika diingat bahwa jumlah bank di Indonesia sebelum Pakto 88 hanya
sekitar 100 buah, yang meningkat lebih 2 kali menjadi 240 bank pada tahun 1995,
maka pengurangan jumlah Bank menjadi kurang dari 100 bank
dewasa ini hanya mengkonfirmasi pertumbuhan jumlah bank yang kebablasan
tersebut. Memang tepat yang pernah dikatakan David Cole dan Betty Slater
(Building a Modern Financial System, 1996) bahwa sebenarnya di Indonesia
bukannya terlalu banyak Bank, tetapi “terlalu banyak Bank yang tidak diawasi
perkembangannya”. Ini berarti bahwa ketika banyak bank mengalami kesulitan
likuiditas pada saat-saat awal krismon, kesalahan tidak sepenuhnya dapat
ditimpakan kepada bank-bank itu tetapi juga pada Bank Indonesia (dan Departemen
Keuangan) yang telah membiarkan perbankan berkembang “liar” tanpa pengawasan.
Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan pemberian BLBI
yang “royal” itu untuk “menebus dosa”, meskipun tanpa disadari justru kebijakan
ini telah menjadi perangkap baru yang akhirnya “menyandera” kebijakan ekonomi
pemerintah secara berkelanjutan.
Menyiasati Globalisasi
Krismon
1997 dan sampai tingkat tertentu ledakan “bom Bali” adalah “bom waktu”
buatan Indonesia sendiri, karena proses liberalisasi dan globalisasi
telah dibiarkan berlangsung “kebablasan”, karena kita mengira sistem ekonomi
kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala Neoklasik ortodok) adalah satu-satunya
sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan di Indonesia. Jika kita
sadari dan percaya bahwa Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan bangsa
hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun penjajahan, maka Pancasila
pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk menyusun sistem ekonomi
nasional. Jika perasan Pancasila adalah asas gotong-royong atau asas
kekeluargaan, maka tepat sekali bunyi ayat 1 pasal 33 UUD 45 bahwa:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam
asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang
kemakmuran orang seorang.
Demikian
“serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan
Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila
adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan,
yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Jika
orang menyatakan globalisasi tak terelakkan, hendaknya kita tidak bersikap
pasrah dan menerima begitu saja “aturan main” yang dibuat “mereka”. Jika aturan
main yang dipakai adalah “sistem Ekonomi Pancasila”, maka aturan main “kita”
inilah yang harus kita pakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi dengan
kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri dan bukan aturan main “mereka”.
Globalisasi
bukan hal baru bagi Indonesia
karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18) rempah-rempah dan
komoditi-komoditi pertanian Indonesia
sudah “diglobalisasikan” (globalisasi tahap I ). Selanjutnya globalisasi tahap
II ( sistem taman paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis liberal ( pasca 1870 )
lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia
(terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai
sumber komoditi-komoditi tropik ini. Kini pada globalisasi tahap III (sejak
medio delapan puluhan) Indonesia
yang sudah menjadi negara merdeka tentulah tidak perlu was-was asal berani dan
percaya diri dengan kepala tegak menetapkan aturan main “kita” untuk dipakai
sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi “kita” dengan “mereka”.
Oleh:
Prof. Dr. Mubyarto --
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP)
UGM.
Makalah untuk diskusi terbatas PUSTEP-UGM dan
FORTAGAMA, 17 Januari 2003
Mohtar Mas'oed
PERPOLITIKAN UNTUK MENDUKUNG EKONOMI ALTERNATIF?
“…..
the discipline (of economics) become progressively more narrow at precisely
the moment when the problems demanded broader, more political, and social
insights …." [1]
[1] Abert O. Hirschman, Essays in Trespassing:
Economics to Politics and Beyond (Cambridge: Cambridge University Press,
1981). Hal. v.
Kutipan di atas
adalah keluhan seorang ilmuwan ekonomi senior yang jengkel terhadap
kecenderungan “myopic” dalam disiplin ilmunya. Yaitu, ketika masyarakat sedang
memerlukan jawaban yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmuwan ekonomi
datang dengan resep ekonomis-teknis. Ketika dihadapkan pada persoalan
pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas, yang diajukan adalah usulan
pembenahan mekanisme pasar. Seolah-olah, kalau mekanisme pasar berlangsung bebas
dari gangguan campur tangan pemerintah, maka semua persoalan itu akan dengan
mudah diselesaikan.
Untuk
memahami konteks kejengkelan itu kita perlu menengok kembali perdebatan yang
selama ini berlangsung antara dua kubu pendekatan: liberal neoklasik dan ekonomi-politik.
Yang pertama adalah pendekatan (teoritis-cum-ideologis) yang mendominasi wacana
mengenai pembangunan ekonomi di kalangan pemerintah Indonesia, terutama sejak Orde
Baru. Sedangkan yang kedua adalah yang berkembang di kalangan oposisi.
Liberalisme Neo-Klasik versus Ekonomi-Politik Klasik
Menurut pendukung
pendekatan liberal neo-klasik (yang sejak 1980-an dikenal juga dengan nama
“neo-liberalisme”), isyu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah
bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil.
Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang
keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Dalam proses itu,
semua yang membantu akumulasi kapital harus digalakkan; yang tidak membantu dipersilahkan
minggir.
Bagaimana cara
mencapai tujuan itu? Proses akumulasi kapital itu diorganisasikan melalui mekanisme
transaksi atau pertukaran dalam pasar. Dengan demikian, ilmu ekonomi
berkembang menjadi ilmu pertukaran. Yang menjadi pusat perhatian adalah
kegiatan produktif yang melalui transaksi pasar, sedangkan yang tidak melalui
transaksi pasar tidak dianggap penting. Akibatnya, hasil kerja petani yang
menanam padi untuk dikonsumsi sendiri tidak dicatat sebagai kegiatan ekonomi,
dan tidak termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto, karena tidak
melibatkan transaksi pasar. Begitu juga, hasil kerja wanita yang produktif
dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dalam perhitungan haril
kerja nasional itu karena, sekali lagi, tidak melibatkan transaksi pasar.
Bagaimana karakter
metodologi yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi liberal? Yang menonjol adalah
positivisme dan saintisme. Metodologi ini mendukung cara pandang yang memusat
pada persoalan materiil, yang empirik dan kasat-indera; mengutamakan variable
yang bisa diukur (“Yang tidak terukur, tidak bisa dianalisis”). Akibatnya,
banyak persoalan penting yang bersifat normatif diabaikan. Bahkan pendukung
metodologi ini cenderung bersikap netral terhadap nilai-nilai etika dan moral, seperti
keadilan. Karena itu, tidak mengherankan kalau persoalan pokok yang dibahas
oleh para pembuat kebijakan yang berpikir atas dasar ilmu pengetahuan
positivistik itu adalah persoalan bagaimana “memperbesar kue nasional”.
Terutama bagaimana meningkatkan kekayaan dan kemakmuran materiil melalui
penggalakan transaksi di pasar. Yaitu, akumulasi kapital melalui pasar. Dan
ukuran keberhasilannya juga berujud prestasi dalam mendoronf pertumbuhan
kapital.
Ideologi yang
mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakeket
manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk ekonomi”
yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang berfungsi
memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Manusia
dianggap banya akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang
sifatnya materiil. Karena itu sering muncul anggapan bahwa asal perutnya
kenyang orang akan mudah diatur. Inilah yang mendasari munculnya kebijakan
publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil,
dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah
perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juba oleh
filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika.
Terakhir, pendekatan
liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khas mengenai organisasi
dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang
paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain
dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karena itu,
mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akan
menentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi. Apa peran negara? Negara
berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan
yang mendukung bekerjanya pasar.
Yang
menarik adalah pandangan kaum ekonom liberal mengenai keluarga. Dalam
ideologi ini, keluarga (rumah tangga) dipandang sebagai lembaga sosial yang
berperan ganda. Pertama, sebagai rumah tangga yang berfungsi sebagai mesin yang
diprogram untuk memaksimalkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang yang
diproduksi secara massal oleh perusahaan (yang juga berperan sebagai mesin yang
diprogram untuk memaksimalkan keuntungan). Karena itu tiap hari rumah tangga
kita dibombardir dengan iklan yang menawarkan berbagai jenis barang dan jasa
yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Semakin getol rumah tangga mengkonsumsi
barang dan jasa itu, semakin “maju” ekonomi itu, demikian argumennya.
Kedua, rumah tangga
juga berfungsi sebagai produsen input abstrak yang disebut “tenaga kerja”. Cara
menyebut tenaga kerja dengan sebutan “sumberdaya manusia” juga memuat unsur
ideologi kapitalistik itu. Istilah ini sebenarnya muncul dalam lingkungan
pabrik. Di sana
bisa ditemui mesin (sumberdaya fisik) dan manusia yang menanganinya (sumberdaya
manusia). Status keduanya pada dasarnya disamakan, yaitu sebagai sumberdaya.
Karena itu upaya memenuhi keperluan buruh seringkali berujud upaya memenuhi
kebutuhan manusia ssebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh. Sebagai
sumberdaya, manusia memerlukan ketrampilan, lapangan kerja, upah minimum yang
memadai, dan sebagainya. Karena semata-mata dipandang sebagai sumberdaya, bukan
sebagai manusia utuh, ia dianggap tidak memerlukan pemenuhan hak sebagai
manusia utuh, misalnya hak untuk berserikat dan hak-hak lain demi pengembangan
identitas dirinya.
Sementara itu, di
sisi lain, ada pendekatan alternatif yang sebenarnya memiliki akar sejarah yang
lebih jauh ke belakang, dengan argumen yang bertentangan dengan gagasan di
atas, yang disebut “ekonomi-politik klasik”. Yang menjadi fokus perhatian
pendekatan ini bukanhanya bagaimana kemakmuran ditingkatkan, tetapi juga
bagaimana produksi dan konsumsi itulah yang sangat menentukan “who get what,
when, how and how much”. Persoalan yang hanya bisa dipahami melalui pendekatan
yang menggabungkan ekonomi debgab dimensi-simensi osial laiinnya.
Berbeda dengan
pendekatan liberal, ekonomi-politik mengandalkan metodologi yang mempertimbangkan
nilai-nilai etika dan moral. Melalui metode impretivis dan instrokpetif,
ekonomi politik mempelajari bukan hanya bagaimana mambuat individu
menjadi makmur, tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi
masalah kemiskinan dan perbaikan kondisi hidup manusia.
Mengenai hakekat
manusia, pendukung pendekatan ekonomi-politik klasik yakin bahwa perilaku
manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh filantrofi,
moralitas dan pertimbangan etika. Kepentingan manusia tidak hanya memenuhi
kebutuhan sendiri, tetapi juga diimbangi dengan rasa tanggungjawab sosial.
Pasar, menurut pendekatan ekonomi-politik, bukan lembaga sosial yang paling
penting. Banyak proses produksi yang ditentukan oleh lembaga-lembaga sosial
lain, seperti keluarga dan birokrasi. Di Indonesia, misalnya, proses produksi
beras, gula, baja, semen, mobil, dan berbagai produk penting lain tidak
bertumpu pada mekanisme pasar. Di masa Orde Baru, beberapa melalui keputusan
birokratik; beberapa yang lain melalui pertemuan keluarga presiden. Karena itu,
yang diutamakan oleh pendekatan ekonomi-politik adalah peran lembaga sosial dan
politik, kekuasaan, dan manifesto sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi. Dalam
praktek, lembaga-lembaga itu memang sering dipakai oleh banyak orang untuk
memproduksi kemakmuran.
Memahami Pak Muby
Dalam
konteks perdebatan dikotomis di atas, buku kecil berjudul “A Development
Alternative for Indonesia”
yang ditulis Prof. Mubyarto dan Prof Daniel Bromley mencerminkan keberpihakan
pada yang kedua. Pertama, analisis dalam buku itu memusatkan pada masalah
pengorganisasian sosial-politik proses produksi. Seperti dikatakan oleh kedua
ilmuwan itu:
It is our contention
that development will be sustainable if and only if it leads to new settings
and circumstances that will enhance the emergence and persistence of new
economic opportunities for the large mass of individuals … (Such) new policies
….represent the conscious modification in the specifics of prevailing economic
institutions. Such innovations in the public policy always bring together a
consideration of three essential elements __ethics, economics, and
the law.
[2]
[2] Mubyarto dan Daniel W. Bromley, A Development Alternative for
Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002), hal. 9
Mengikuti logika
argumen di atas. Yang diperlukan oleh para usahawan menengah dan kecil, petani
plasma, buruh, dan berbagai aktor lain dalam perekonomian rakyat adalah suatu
“enabling setting” yang memungkinkan mereka untuk berkembang. “Setting” itu
bisa berujud kebijakan politik, ekonomi maupun hukum. Kedua, buku ini juga
mengembangkan argumen dan diwarnai oleh isyu normatif. Persoalan etika
ditekankan. Peroalan keadilan dijadikan ukuran pokok dan dibahas dengan penuh
empati. Sebagai bagian dari proklamasi kelahiran Pusat Studi Ekonomi Pancasila,
buku itu jelas mengungkapkan kecenderungan normatifnya, yaitu pemihakan pada
ekonomi kerakyatan. Ketiga, analisis dalam buku ini adalah buah dari olah pikir
yang eklektik, bersedia memanfaatkan metodologi dan metode yang relevan.
Penulis buku itu memanfaatkan kerangka analisis sosiologis, antropologis,
filsafat, politik, dan disiplin sosial lain dengan terbuka. Seperti dikatakan
oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam “Introduction” buku itu: “Instead of
studying the new economics (Mubyarto) is pleading strongly for the study of
economic with a multi-dimensional approach”. [3]
[3] Ibid, hal. v
Dari “exchange” ke “sharing”
Pertanyaannya adalah mekanisme dan tindakan
politik apa yang bisa mendukung keberhasilan reformasi ekonomi menurut jalan
“ekonomi kerakyatan” yang digagas Pak Muby itu? Kenyataan menunjukkan bahwa
para aktor dan mekanisme politik Indonesia masih belum bisa memahami
gagasan itu. Mundurnya Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo dari panitia ad
hoc di MPR menunjukkan hal itu. Ilmuwan dan praktisi ilmu politik perlu dibantu
mengembangkan konsep, teori, kebijakan dan lembaga-lembaga yang sesuai dengan
tujuan penciptaan ekonomi kerakyatan itu.
Salah satunya adalah
membongkar kembali konseptualisasi tentang politik dan ekonomi sebagai
transaksi pertukaran. Praktek bisnis umumnya terdiri dari transaksi seperti
itu: yaitu, A memberikan sesuatu pada B dan menerima sesuatu dari B sebagai
balasan yang nilainya setara. Ini disebut “exchange” dengan hasil nol (zero-sum).
Tetapi kalau A memberikan sesuatu pada B, tetapi si A tidak kehilangan sesuatu
yang diberikan itu, maka yang terjadi bukan transaksi “exchange”, tetapi suatu
proses “sharing” yang bisa punya implikasi “positive-sum”. Inilah yang terjadi
dalam hal sumberdaya informasi. Berbeda dengan sumberdaya lain, yang berkurang
kalau diberikan pada pihak lain, sumberdaya informasi justru semakin membesar
kitika disebar pada pihak lain.
Sayangnya, ilmuwan
politik maupun ilmuwan ekonomi belum mengembangkan teori untuk menjelaskan atau
memikirkan tentang ekonomi dunia yang sebagian besar terdiri-dari transaksi
“sharing”. Ilmuwan politik juga belum menghasilkan teori tentang implikasi dari
“a politics of sharing a plentiful resource” (seperti informasi) yang sangat berbeda
dengan “a politics of allocating scarce resources”.
Yang kita perlukan
adalah lembaga dan perspektif yang lebih luas yang memusatkan perhatian pada
persoalan kemiskinan dan ketimpangan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga kemiskinan
di seluruh dunia dan ketimpangan antar-bangsa. Inilah yang harus menjadi pusat
perhatian ilmu politik dan ilmu ekonomi, kalau kita ingin membuatnya relevan
bagi persoalan masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar