Mubyarto
DENGAN
EKONOMI PANCASILA MENYIASATI GLOBALISASI
The
success of Indonesia’s
economic policies confirmed the idea that, as much as possible, economic
policies should be insulated from undue political influence. Moreover,
experience has demonstrated that alternative schools of economic policy making,
including communism, socialism, and even “supply side economics”, in the long
run have all failed. In the meantime the field of neo-classical economics is
progressing steadily. It is here that policy making should seek guidance in
creating economic policies (Radius Prawiro, 1998:335)
In
this precarious state, the government took the bold move of removing all
restrictions on the flow of capital into and out of the country. Indonesia’s
laws governing the flow of capital thus became some of the most liberal in the
world, more so even than those of many of the most developed countries (Radius Prawiro,
1998:290).
Neo-Liberalism,
in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which
there are only two choices, an economy organized by markets or an economy
organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- statist
bureaucracy (Mac
Ewan 1999:11)
Pendahuluan
Globalisasi
mempunyai 2 pengertian pertama, sebagai deskripsi/definisi yaitu proses
menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market),
dan kedua, sebagai “obat kuat” (prescription) menjadikan ekonomi
lebih efisien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua
pengertian ini jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi “tidak ada
pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau
terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat.
Benarkah
pilihannya hanya dua sebagaimana dikemukakan paham Neo-liberalisme? Benarkah
tak ada hak sama sekali bagi setiap negara untuk “berbeda” dengan menerapkan
sistem ekonomi yang sesuai sistem nilai dan budaya negara-negara bersangkutan?
Arthur Mac Ewan membantah keras pandangan “tidak ada pilihan” ini dengan secara
tegas menyatakan:
Contrary to the
claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course,
and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term
consequences
(Mac Ewan 1999:8)
Lebih tegas lagi pernyataan James Petra dan
Henry Veltmeyer dalam Globalization Unmasked bahwa “globalization is
neither inevitable nor necessary” (Petras & Veltmeyer 2001:12)
Hikmah Krisis Moneter
Orang Indonesia selalu berhasil
menyatakan “untung” atas berbagai musibah. Maka, adakah alasan orang menyatakan
“untung ada krismon”? Ternyata dalam segala kesusahan menghadapi globalisasi
dan liberalisasi perdagangan dan investasi, bahkan termasuk meledaknya “bom
Bali”, orang Indonesia masih mampu menyebutkan aspek keuntungannya. Seorang rekan
ekonom dari AS menulis “A less globalized world might be better for Indonesia”!
Jadi tanpa Indonesia susah-susah melawan serangan dahsyat globalisasi, krismon
dan Bom Bali telah membantu Indonesia “mengusir atau mengurangi tekanan
globalisasi” yang memang lebih merugikan ketimbang menguntungkan ekonomi
Indonesia. Terhadap kekuatan-kekuatan “anti globalisasi” ini para pendukung
globalisasi berusaha dan berhasil mengundang IMF untuk memperkuat
barisan. Kini yang terjadi adalah pergulatan (ilmiah dan ideologis) antara dua
kekuatan yaitu mereka yang mendukung dan yang menentang globalisasi.
Kesimpulan
kita di Indonesia tidak bisa lain, “jangan-jangan” krismon dan Bom Bali
merupakan “Petunjuk Tuhan” bahwa globalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas
merugikan sebagian besar rakyat Indonesia kenyataannya memang telah berjalan
terlalu cepat sehingga “atas kehendak Tuhan”, krismon dan bom Bali “diturunkan”
untuk memperingatkannya dan mengeremnya.
The region and
the entire world need to carefully think through whether globalization has
proceeded at too fast a pace for national societies, particularly developing
ones, to make needed adjustments without undue dislocation and economic pain. (Morrison & Hadi
Soesastro. 1998:23)
Liberalisasi Perbankan 1983-88
Jika
kita baca dan renungkan kembali kekagetan Radius Prawiro tentang telah menjadi
terlalu liberalnya peraturan masuk dan keluar modal ke dan dari Indonesia sejak
pertengahan delapan puluhan, ketika yang bersangkutan menjabat Gubernur Bank
Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menko Ekuin, maka jelas telah terjadi
gerakan tak terkendali dari liberalisasi dan globalisasi di negara
kita. Jika diingat bahwa jumlah bank di Indonesia sebelum Pakto 88 hanya
sekitar 100 buah, yang meningkat lebih 2 kali menjadi 240 bank pada tahun 1995,
maka pengurangan jumlah Bank menjadi kurang dari 100 bank
dewasa ini hanya mengkonfirmasi pertumbuhan jumlah bank yang kebablasan
tersebut. Memang tepat yang pernah dikatakan David Cole dan Betty Slater
(Building a Modern Financial System, 1996) bahwa sebenarnya di Indonesia
bukannya terlalu banyak Bank, tetapi “terlalu banyak Bank yang tidak diawasi
perkembangannya”. Ini berarti bahwa ketika banyak bank mengalami kesulitan
likuiditas pada saat-saat awal krismon, kesalahan tidak sepenuhnya dapat
ditimpakan kepada bank-bank itu tetapi juga pada Bank Indonesia (dan Departemen
Keuangan) yang telah membiarkan perbankan berkembang “liar” tanpa pengawasan.
Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan pemberian BLBI
yang “royal” itu untuk “menebus dosa”, meskipun tanpa disadari justru kebijakan
ini telah menjadi perangkap baru yang akhirnya “menyandera” kebijakan ekonomi
pemerintah secara berkelanjutan.
Menyiasati Globalisasi
Krismon
1997 dan sampai tingkat tertentu ledakan “bom Bali” adalah “bom waktu”
buatan Indonesia sendiri, karena proses liberalisasi dan globalisasi
telah dibiarkan berlangsung “kebablasan”, karena kita mengira sistem ekonomi
kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala Neoklasik ortodok) adalah satu-satunya
sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan di Indonesia. Jika kita
sadari dan percaya bahwa Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan bangsa
hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun penjajahan, maka Pancasila
pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk menyusun sistem ekonomi
nasional. Jika perasan Pancasila adalah asas gotong-royong atau asas
kekeluargaan, maka tepat sekali bunyi ayat 1 pasal 33 UUD 45 bahwa:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam
asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang
kemakmuran orang seorang.
Demikian
“serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan
Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila
adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan,
yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Jika
orang menyatakan globalisasi tak terelakkan, hendaknya kita tidak bersikap
pasrah dan menerima begitu saja “aturan main” yang dibuat “mereka”. Jika aturan
main yang dipakai adalah “sistem Ekonomi Pancasila”, maka aturan main “kita”
inilah yang harus kita pakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi dengan
kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri dan bukan aturan main “mereka”.
Globalisasi
bukan hal baru bagi Indonesia
karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18) rempah-rempah dan
komoditi-komoditi pertanian Indonesia
sudah “diglobalisasikan” (globalisasi tahap I ). Selanjutnya globalisasi tahap
II ( sistem taman paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis liberal ( pasca 1870 )
lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia
(terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai
sumber komoditi-komoditi tropik ini. Kini pada globalisasi tahap III (sejak
medio delapan puluhan) Indonesia
yang sudah menjadi negara merdeka tentulah tidak perlu was-was asal berani dan
percaya diri dengan kepala tegak menetapkan aturan main “kita” untuk dipakai
sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi “kita” dengan “mereka”.
Oleh:
Prof. Dr. Mubyarto --
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP)
UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar