Selasa, 08 Januari 2013

ekonomi




Mubyarto

DENGAN EKONOMI PANCASILA MENYIASATI GLOBALISASI

The success of Indonesia’s economic policies confirmed the idea that, as much as possible, economic policies should be insulated from undue political influence. Moreover, experience has demonstrated that alternative schools of economic policy making, including communism, socialism, and even “supply side economics”, in the long run have all failed. In the meantime the field of neo-classical economics is progressing steadily. It is here that policy making should seek guidance in creating economic policies (Radius Prawiro, 1998:335)
In this precarious state, the government took the bold move of removing all restrictions on the flow of capital into and out of the country. Indonesia’s laws governing the flow of capital thus became some of the most liberal in the world, more so even than those of many of the most developed countries (Radius Prawiro, 1998:290).
Neo-Liberalism, in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which there are only two choices, an economy organized by markets or an economy organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- statist bureaucracy (Mac Ewan 1999:11)

Pendahuluan

Globalisasi mempunyai 2 pengertian pertama, sebagai deskripsi/definisi yaitu proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market), dan kedua, sebagai “obat kuat” (prescription) menjadikan ekonomi lebih efisien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua pengertian ini jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi “tidak ada pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat.
Benarkah pilihannya hanya dua sebagaimana dikemukakan paham Neo-liberalisme? Benarkah tak ada hak sama sekali bagi setiap negara untuk “berbeda” dengan menerapkan sistem ekonomi yang sesuai sistem nilai dan budaya negara-negara bersangkutan? Arthur Mac Ewan membantah keras pandangan “tidak ada pilihan” ini dengan secara tegas menyatakan:
Contrary to the claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course, and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term consequences (Mac Ewan 1999:8)
Lebih tegas lagi pernyataan James Petra dan Henry Veltmeyer dalam Globalization Unmasked bahwa “globalization is neither inevitable nor necessary” (Petras & Veltmeyer 2001:12)

Hikmah Krisis Moneter 

Orang Indonesia selalu berhasil menyatakan “untung” atas berbagai musibah. Maka, adakah alasan orang menyatakan “untung ada krismon”? Ternyata dalam segala kesusahan menghadapi globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi, bahkan termasuk meledaknya “bom Bali”, orang Indonesia masih mampu menyebutkan aspek keuntungannya. Seorang rekan ekonom dari AS menulis “A less globalized world might be better for Indonesia”! Jadi tanpa Indonesia susah-susah melawan serangan dahsyat globalisasi, krismon dan Bom Bali telah membantu Indonesia “mengusir atau mengurangi tekanan globalisasi” yang memang lebih merugikan ketimbang menguntungkan ekonomi Indonesia. Terhadap kekuatan-kekuatan “anti globalisasi” ini para pendukung globalisasi  berusaha dan berhasil mengundang IMF untuk memperkuat barisan. Kini yang terjadi adalah pergulatan (ilmiah dan ideologis) antara dua kekuatan yaitu mereka yang mendukung dan yang menentang globalisasi.
Kesimpulan kita  di Indonesia tidak bisa lain, “jangan-jangan” krismon dan Bom Bali merupakan “Petunjuk Tuhan” bahwa globalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas merugikan sebagian besar rakyat Indonesia kenyataannya memang telah berjalan terlalu cepat sehingga “atas kehendak Tuhan”, krismon dan bom Bali “diturunkan” untuk memperingatkannya dan mengeremnya.
The region  and the entire world need to carefully think through whether globalization has proceeded at too fast a pace for national societies, particularly developing ones, to make needed adjustments without undue dislocation and economic pain. (Morrison & Hadi Soesastro. 1998:23)

Liberalisasi Perbankan 1983-88

Jika kita baca dan renungkan kembali kekagetan Radius Prawiro tentang telah menjadi terlalu liberalnya peraturan masuk dan keluar modal ke dan dari Indonesia sejak pertengahan delapan puluhan, ketika yang bersangkutan menjabat Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menko Ekuin, maka jelas telah terjadi  gerakan  tak terkendali  dari liberalisasi dan globalisasi di negara kita. Jika diingat bahwa jumlah bank di Indonesia sebelum Pakto 88 hanya sekitar 100 buah, yang meningkat lebih 2 kali menjadi 240 bank pada tahun 1995, maka  pengurangan jumlah  Bank menjadi kurang dari  100 bank dewasa ini hanya  mengkonfirmasi pertumbuhan jumlah bank yang kebablasan tersebut. Memang tepat yang  pernah dikatakan David Cole dan Betty Slater (Building a Modern Financial System, 1996) bahwa sebenarnya di Indonesia bukannya terlalu banyak Bank, tetapi “terlalu banyak Bank yang tidak diawasi perkembangannya”. Ini berarti bahwa ketika banyak bank mengalami kesulitan likuiditas pada saat-saat awal krismon, kesalahan tidak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada bank-bank itu tetapi juga pada Bank Indonesia (dan Departemen Keuangan) yang telah membiarkan perbankan berkembang “liar” tanpa pengawasan. Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan pemberian BLBI yang “royal” itu untuk “menebus dosa”, meskipun tanpa disadari justru kebijakan ini telah menjadi perangkap baru yang akhirnya “menyandera” kebijakan ekonomi pemerintah secara berkelanjutan. 

Menyiasati Globalisasi

Krismon 1997 dan sampai tingkat tertentu ledakan “bom Bali” adalah “bom waktu” buatan  Indonesia sendiri, karena proses liberalisasi dan globalisasi telah dibiarkan berlangsung “kebablasan”, karena kita mengira sistem ekonomi kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala Neoklasik ortodok) adalah satu-satunya sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan di Indonesia. Jika kita sadari dan percaya bahwa Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan bangsa hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun penjajahan, maka Pancasila pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk menyusun sistem ekonomi nasional. Jika perasan Pancasila adalah asas gotong-royong atau asas kekeluargaan, maka tepat sekali bunyi ayat 1 pasal 33 UUD 45 bahwa:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang.
Demikian “serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan, yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penutup

Jika orang menyatakan globalisasi tak terelakkan, hendaknya kita tidak bersikap pasrah dan menerima begitu saja “aturan main” yang dibuat “mereka”. Jika aturan main yang dipakai adalah “sistem Ekonomi Pancasila”, maka aturan main “kita” inilah yang harus kita pakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri dan bukan aturan main “mereka”.
Globalisasi bukan hal baru bagi Indonesia karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18) rempah-rempah dan komoditi-komoditi pertanian Indonesia sudah “diglobalisasikan” (globalisasi tahap I ). Selanjutnya globalisasi tahap II ( sistem taman paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis liberal ( pasca 1870 ) lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia (terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai sumber komoditi-komoditi tropik ini. Kini pada globalisasi tahap III (sejak medio delapan puluhan) Indonesia yang sudah menjadi negara merdeka tentulah tidak perlu was-was asal berani dan percaya diri dengan kepala tegak menetapkan aturan main “kita” untuk dipakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi “kita” dengan “mereka”.



Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar